When you run so fast to get somewhere, you miss the fun of getting there.
Life is not a race, so take it slower.
Hear the music before the song is over.
You are part of the puzzle of someone else's life.
You may never know where you fit but others will fill the holes in their lives with pieces of you.
So if you run out of reasons to live, remember that someone else's life may never be complete without you in it.

Friday, June 29, 2012

STRES YANG BAIK, STRES YANG BURUK

”Karena stres merupakan tanggapan yang tidak spesifik dari tubuh terhadap kebutuhan apa pun, semua orang selalu mengalami stres hingga taraf tertentu.”—dr. Hans Selye.

AGAR seorang pemain biola dapat menghasilkan musik, senar pada instrumennya harus terentang tegang—tetapi hanya hingga taraf tertentu. Jika terlalu tegang, senarnya akan putus. Tetapi, jika terlalu longgar, tidak ada bunyi yang keluar sama sekali. Ketegangan yang tepat terletak di antara kedua ekstrem tersebut.

Demikian pula halnya dengan stres. Terlalu banyak dapat berbahaya, seperti yang telah kita lihat. Tetapi, bagaimana jika sama sekali tidak ada stres? Meskipun kemungkinan itu kedengarannya menarik, sebenarnya Anda membutuhkan stres—setidaknya hingga taraf tertentu. Misalnya, bayangkan bahwa sewaktu menyeberang jalan, mendadak Anda melihat sebuah mobil melaju ke arah Anda. Streslah yang memungkinkan Anda terhindar dari bahaya—dengan segera!

Tetapi, stres bukan hanya bermanfaat di saat darurat. Anda juga membutuhkan stres untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Setiap saat, semua orang mengalami stres hingga taraf tertentu. ’Satu-satunya cara menghindari stres adalah mati,’ kata dr. Hans Selye. Ia menambahkan bahwa pernyataan ”ia mengalami stres” sama tak bermaknanya dengan ungkapan ”ia mengalami panas dalam”. ”Maksud sebenarnya dari frase semacam itu,” kata Selye, ”adalah stres atau panas tubuh yang berlebihan.” Dalam ikatan kalimat ini, rekreasi juga melibatkan stres, dan begitu pula tidur, karena jantung Anda harus terus berdenyut dan paru-paru Anda harus terus berfungsi.

Tiga Jenis Stres


Seperti halnya ada berbagai taraf stres, ada juga berbagai jenis stres.

Stres akut diakibatkan oleh ketegangan hidup sehari-hari. Sering kali, ini mencakup situasi yang tidak menyenangkan yang harus dituntaskan. Karena hal ini sifatnya kebetulan dan hanya sementara, stres ini biasanya dapat dikendalikan. Tentu saja, ada beberapa orang yang mengalami krisis demi krisis—malahan, kekacauan tampaknya menjadi bagian dari kepribadiannya. Tingkat stres akut yang ini pun dapat dikendalikan. Akan tetapi, si penderita boleh jadi menolak untuk berubah, hingga ia menyadari dampak gaya hidupnya yang rusuh terhadap dirinya dan orang-orang di sekelilingnya.

Kalau stres akut sifatnya sementara, maka stres kronis sifatnya jangka panjang. Si penderita tidak melihat jalan keluar dari sebuah situasi yang penuh stres, bisa jadi berupa kesengsaraan karena kemelaratan atau pekerjaan yang tidak diinginkan—atau tidak ada pekerjaan. Stres kronis dapat juga diakibatkan oleh problem keluarga yang berkepanjangan. Merawat sanak saudara yang sakit juga dapat mengakibatkan stres. Apa pun penyebabnya, stres kronis menggerogoti korbannya hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. ”Aspek terburuk dari stres kronis adalah bahwa orang-orang menjadi terbiasa dengannya,” demikian kata sebuah buku mengenai topik ini. ”Orang-orang segera menyadari adanya stres akut karena sifatnya baru; mereka mengabaikan stres kronis karena sifatnya lama, dikenal baik, dan, adakalanya, nyaris dianggap nyaman.”

Stres traumatika merupakan dampak dari sebuah tragedi yang luar biasa, seperti pemerkosaan, kecelakaan, atau bencana alam. Banyak veteran perang dan orang-orang yang selamat dari kamp konsentrasi menderita stres jenis ini. Gejala-gejala stres traumatika bisa mencakup kenangan yang jelas akan trauma tersebut, bahkan bertahun-tahun kemudian, disertai meningkatnya kepekaan terhadap peristiwa-peristiwa kecil. Adakalanya diagnosis terhadap penderitanya menunjukkan kondisi yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), atau gangguan stres pascatrauma.

Terlalu Peka Terhadap Stres

Beberapa orang mengatakan bahwa cara kita menanggapi stres pada waktu sekarang banyak bergantung pada seberapa besar dan apa jenis stres yang pernah kita alami di masa lalu. Mereka mengatakan bahwa trauma pada akhirnya dapat mengubah ”jalur” kimia otak, mengakibatkan seseorang jauh lebih peka terhadap stres di masa depan. Misalnya, dalam sebuah penelitian atas 556 veteran Perang Dunia II, dr. Lawrence Brass mendapati bahwa risiko stroke lebih tinggi delapan kali lipat di antara mereka yang pernah menjadi tahanan perang daripada di antara mereka yang tidak pernah—meskipun 50 tahun telah berlalu sejak trauma awal. ”Stres sewaktu menjadi POW [prisoner of war, atau tahanan perang] sedemikian parahnya sehingga mengubah caranya orang-orang ini menanggapi stres di masa depan—menjadi terlalu peka terhadapnya.”

Peristiwa-peristiwa penuh stres yang dialami selama masa kanak-kanak hendaknya tidak diremehkan, kata para pakar, karena ini dapat membawa dampak yang nyata. ”Sebagian besar anak yang menderita trauma tidak dibawa ke dokter,” kata Dr. Jean King. ”Mereka melewati problem tersebut, meneruskan kehidupan seperti biasa, dan bertahun-tahun kemudian datang ke kantor kami dengan keluhan menderita depresi atau penyakit jantung.” Misalnya, perhatikan trauma kehilangan orang-tua. ”Stres sebesar itu yang terjadi sewaktu Anda masih muda boleh jadi mengakibatkan perubahan kimia dan anatomi saraf di otak secara permanen,” kata Dr. King, ”sehingga menjadi kurang sanggup menangani stres sehari-hari yang normal.”

Tentu saja, bagaimana seseorang menanggapi stres dapat bergantung pada faktor-faktor lain juga, termasuk pembawaan fisiknya dan sumber daya yang tersedia untuk membantunya mengatasi peristiwa yang penuh stres. Namun, apa pun penyebabnya, stres dapat dikendalikan. Sayangnya, ini tidak mudah. Dr. Rachel Yehuda mengamati, ”Memberi tahu seseorang yang telah menjadi terlalu peka terhadap stres untuk sekadar relaks sama seperti memberi tahu penderita insomnia untuk sekadar tidur.” Namun, ada banyak yang dapat dilakukan seseorang untuk mengurangi stres, sebagaimana akan diperlihatkan artikel berikut.

Stres Pekerjaan—Suatu ”Fenomena Global”

  Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, ”Stres telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling serius pada abad ke-20.” Kehadirannya di tempat kerja sangat jelas terlihat.

  • Banyaknya tuntutan ganti rugi yang berkaitan dengan stres oleh para pegawai negeri di Australia meningkat 90 persen dalam kurun waktu tiga tahun saja.
  • Sebuah survei di Prancis menyingkapkan bahwa 64 persen perawat dan 61 persen guru mengatakan bahwa mereka merasa kesal terhadap lingkungan yang penuh stres di tempat kerja mereka.
  • Penyakit yang berkaitan dengan stres diperkirakan menguras 200 miliar dolar AS setiap tahun di Amerika Serikat. Menurut perhitungan, 75 hingga 85 persen dari semua kecelakaan di bidang industri berkaitan dengan stres.
  • Di banyak negeri, wanita didapati lebih menderita stres daripada pria, kemungkinan besar karena mereka menangani lebih banyak tugas di rumah maupun di tempat kerja.
  Stres pekerjaan benar-benar adalah, seperti yang dijuluki laporan PBB tersebut, suatu ”fenomena global”.

PTSD—Reaksi yang Normal untuk Pengalaman yang Abnormal

  ’Tiga bulan setelah kami mengalami tabrakan mobil, saya masih belum dapat berhenti menangis, atau tidur lelap sepanjang malam. Ke luar rumah saja membuat saya sangat ketakutan.’—Louise.
LOUISE menderita post-traumatic stress disorder (PTSD), atau gangguan stres pascatrauma, suatu penyakit yang melemahkan yang dicirikan dengan kenangan atau mimpi mengenai suatu trauma yang timbul dan mengganggu. Seorang penderita PTSD bisa jadi menanggapi kejutan secara berlebih-lebihan. Misalnya, psikolog Michael Davis menceritakan mengenai seorang veteran Perang Vietnam yang pada hari pernikahannya melompat ke semak-semak saat mendengar suara letupan mesin mobil. ”Segala sesuatu di lingkungannya harus menunjukkan bahwa tidak ada bahaya baginya,” kata Davis. ”Dua puluh lima tahun telah berlalu; ia ada di Amerika Serikat, bukan Vietnam; . . . ia mengenakan tuksedo putih, bukan seragam perang. Tetapi, sewaktu rangsangan dasar itu datang, ia lari mencari perlindungan.”

  Trauma medan perang hanyalah salah satu penyebab PTSD. Menurut The Harvard Mental Health Letter, penyakit tersebut dapat disebabkan oleh ”peristiwa atau rangkaian peristiwa apa pun yang mencakup kematian yang nyata, ancaman kematian, cedera serius atau ancaman cacat fisik. Itu bisa berupa bencana alam, kecelakaan, atau perbuatan manusia: banjir, kebakaran, gempa bumi, tabrakan mobil, pengeboman, penembakan, penyiksaan, penculikan, penyerangan, pemerkosaan, atau penganiayaan anak”. Sekadar menyaksikan peristiwa traumatis atau tahu mengenainya—barangkali melalui kesaksian yang mencengangkan atau foto-foto—bisa membangkitkan gejala-gejala PTSD, khususnya bila orang yang terlibat adalah anggota keluarga atau sahabat dekat.

  Tentu saja, tanggapan orang terhadap trauma berbeda-beda. ”Sebagian besar orang yang mendapat pengalaman traumatis tidak menderita gejala-gejala psikiatris yang serius, dan bahkan kalaupun ada gejala-gejalanya, ini tidak selalu berbentuk PTSD,” demikian penjelasan The Harvard Mental Health Letter. Bagaimana dengan orang-orang yang stresnya memang mengarah pada PTSD? Pada waktunya, beberapa dari mereka sanggup menangani perasaan yang berkaitan dengan trauma tersebut dan mendapatkan kelegaan. Yang lainnya terus berjuang dengan kenangan akan suatu peristiwa traumatis bertahun-tahun setelah hal itu terjadi.

  Apa pun kasusnya, orang-orang yang menderita PTSD—dan orang-orang yang ingin membantu mereka—hendaknya ingat bahwa pemulihan membutuhkan kesabaran. Bagi Louise, yang dikutip di awal, lima bulan berlalu sebelum ia dapat kembali duduk di belakang kemudi mobil. ”Meskipun saya telah membuat kemajuan,” katanya empat tahun setelah kecelakaan tersebut, ”mengemudi tidak akan pernah menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi saya seperti dulunya. Mengemudi menjadi sesuatu yang harus saya lakukan. Tetapi, ada banyak kemajuan yang telah saya capai, dibandingkan dengan masa-masa setelah kecelakaan itu, saat saya merasa begitu tidak berdaya.”



source:
Sedarlah! Maret 1998

No comments:

Post a Comment