When you run so fast to get somewhere, you miss the fun of getting there.
Life is not a race, so take it slower.
Hear the music before the song is over.
You are part of the puzzle of someone else's life.
You may never know where you fit but others will fill the holes in their lives with pieces of you.
So if you run out of reasons to live, remember that someone else's life may never be complete without you in it.

Monday, June 25, 2012

KEBANGKITAN DAN KEJATUHAN DUNIA PERDAGANGAN. Bagian 5: Bisnis Raksasa Mengetatkan Cengkeramannya


Kebangkitan dan Kejatuhan Dunia Perdagangan

Bagian 5: Bisnis Raksasa Mengetatkan Cengkeramannya



PERANG Dunia I baru saja berlalu ketika kondisi perekonomian Eropa yang membahayakan mengisyaratkan kesukaran lebih lanjut. Pada akhir Oktober 1929, bencana melanda. Bursa saham New York merosot tajam. Masyarakat panik. Segera setelah itu, ratusan bank gulung tikar. Jutaan dolar milik ribuan orang ludes dan beberapa pemiliknya mengakhiri kehidupan dengan meloncat dari gedung-gedung tinggi.


Depresi Besar menghempaskan seluruh dunia ke dalam kehancuran ekonomi dan kemudian ke dalam kekacauan politik, dengan pengaruhnya yang memperburuk situasi yang menimbulkan Perang Dunia II. Profesor sejarah René Albrecht-Carrié melukiskan tahun-tahun 1930-an sebagai ”yang disela oleh krisis-krisis, menyingkapkan suatu latar belakang bencana ekonomi”.

Bisnis Raksasa—Ahli Membuat Polusi?

Revolusi industri meletakkan dasar bagi suatu bentuk kemajuan yang aneh—kemajuan yang mempermudah, mempercepat dan mempermurah penyediaan keinginan dan kebutuhan manusia, namun pada waktu yang sama menyebabkan hujan asam, menghasilkan limbah kimia dan merusak hutan tropis; kemajuan yang mampu mengangkut para wisatawan dengan jet ke belahan bumi yang lain sehingga mereka dapat mengotori pantai-pantai yang bersih dan merusak habitat alam; kemajuan yang dengan mengotori udara, makanan dan air, mengancam kita dengan kematian sebelum waktunya.

Di samping mengembangkan teknologi yang mendatangkan kehancuran bagi bumi, bisnis raksasa juga telah menyediakan motivasi. Seperti dinyatakan oleh majalah Time, ”mengejar keuntungan secara serabutan melalui berbagai bisnis telah lama menjadi sumber utama polusi”. Seorang ahli ekonomi kehutanan PBB dikutip kata-katanya bahwa perdagangan ”kayu-kayu hutan tropis secara ilegal berakar pada ketamakan”.

Sistem-sistem non-kapitalis sama-sama bersalah. Jurnalis Richard Hornik menulis pada tahun 1987 bahwa ”selama hampir tiga dekade pemerintahan Komunis, Peking menegaskan bahwa pembangunan sosialis mustahil mengakibatkan degradasi lingkungan”. Tetapi sekaranglah waktu untuk menghadapi akibatnya, dan bahkan Cina menyadari ”berbagai dampak kemajuan ekonomi yang merusak lingkungan”.

Jurnalis lainnya menyebut kehancuran akibat polusi selama 40 tahun berupa keporakporandaan di Eropa Timur ”rahasia komunisme yang paling kotor”. Baru sekarang besarnya kerusakan menjadi jelas, menyebabkan Bitterfeld, 50 kilometer di sebelah utara Leipzig, menerima julukan kota yang paling pekat polusinya di daerah yang kemungkinan paling tercemar di dunia.

Buah-Buah Persaingan yang Kejam

Sama seperti banyak aksi dan reaksi kita terutama dibentuk oleh agama dan politik, demikian pula kita amat dipengaruhi oleh bisnis raksasa. Kenyataannya, cengkeramannya yang ketat atas manusia mungkin dianggap yang terbaik dalam hal membentuk kepribadian.

Justru dasar yang di atasnya dunia perdagangan kapitalis didirikan, semangat bersaing yang kejam, terdapat di mana-mana—di sekolah, di tempat kerja, di dunia hiburan dan olahraga dan kadang-kadang bahkan di dalam keluarga. Remaja-remaja telah diajar sejak bayi untuk bersaing, untuk menjadi yang terbaik, untuk menjadi nomor satu. Maju secara ekonomi dianggap sebagai segala-galanya, dan sedikit pembatasan diberlakukan terhadap cara memperolehnya. Demi kepentingan sukses, pria dan wanita dianjurkan untuk berlaku ambisius, bahkan agresif bila perlu.

Masyarakat bisnis dilatih untuk bersikap ramah dan sopan. Tetapi apakah sifat ini selalu merupakan bentuk kepribadian asli mereka, atau apakah mereka kadang-kadang menampilkan kedok yang mereka kenakan sewaktu mereka memainkan peranan mereka? Pada tahun 1911, Edgar Watson Howe, seorang jurnalis Amerika, memberikan saran berikut ini, ”Apabila seseorang berupaya menjual sesuatu kepada Anda, jangan bayangkan ia senantiasa sama sopannya.”

Persaingan menumbuhkan perasaan iri, dengki dan tamak. Orang-orang yang unggul mungkin mulai menganggap diri hebat, sehingga mereka angkuh dan ingin berkuasa. Di lain pihak, orang-orang yang terus-menerus kalah mungkin menderita akibat kurangnya harga diri, menyebabkan keputusasaan. Karena menghadapi tekanan persaingan yang tidak sanggup mereka hadapi, mereka mungkin memilih untuk menyerah, suatu sikap yang dapat turut menjelaskan peningkatan angka bunuh diri di kalangan remaja di beberapa negeri.

Dengan gagal menyediakan kebutuhan hidup setiap orang secara merata, sistem ekonomi yang tidak efektif dapat mengubah kepribadian menjadi tidak tahu berterima kasih, mementingkan diri dan tidak berperasaan di satu pihak, atau kepahitan, mengasihani diri dan acuh tak acuh di lain pihak. Dan dengan meninggikan uang dan harta benda ke status ilah yang nyata, perdagangan dapat dengan mudah merongrong kerohanian orang-orang.

Kekuatan yang Merusak dari Uang

Begitu uang diperkenalkan ke dalam masyarakat, ia mulai meresap ke seluruh masyarakat manusia dan kemudian mempengaruhi hubungan manusia. Suatu sistem harga menuntut nilai-nilai moneter atas barang dan jasa. Segera segalanya dinilai berdasarkan uang, ia menjadi standar bagi segala hal yang dinilai berharga. Akan tetapi, hal ini mengaburkan kebenaran sebagaimana dinyatakan dengan manis dalam sebuah lagu bahwa ”hal-hal yang terbaik dalam kehidupan adalah gratis”.

Bahkan manusia mulai dihargai berdasarkan uang, dinilai berdasarkan besarnya gaji atau kekayaannya. Jurnalis bernama Max Lerner menyadari hal ini pada tahun 1949, sewaktu ia menulis, ”Di dalam kebudayaan kita, kita membuat orang-orang yang menempati peringkat atas dalam segi keuangan menjadi para pahlawan, dan kita menaruh perhatian bukan hanya kepada apa yang mereka katakan dalam bidang keahlian mereka, tetapi kepada hikmat mereka dalam setiap permasalahan yang ada di dunia.” Baru-baru ini seorang reporter menyatakan kekhawatirannya terhadap pandangan yang kuat dari presiden A.S. bahwa kekayaan adalah ukuran keberhasilan seseorang. Sang reporter berpendapat bahwa hal tersebut menjadi ”gejala materialistis yang berlebih-lebihan yang telah mengubah tahun-tahun 1980-an ke dalam ’Dekade saya’, suatu masa manakala berdasarkan kekayaan, Anda akan diketahui dan dihakimi”.

Terlalu menekankan uang dan barang-barang yang dapat dibelinya cenderung merendahkan nilai hubungan antar manusia. Seorang pemuda dari Banglades, setelah pindah ke negara kapitalis Eropa, benar-benar merasakan hal tersebut sewaktu ia menulis, ”Orang-orang di sini tertarik kepada benda; di kampung halaman kami lebih tertarik kepada manusia.”

Sikap yang berpusat kepada uang juga merendahkan pekerjaan, membuatnya hanya sebagai cara mengejar sesuatu yang diinginkan, suatu beban dan bukan lagi suatu kesenangan. Orang bekerja, bukan untuk sukacita atas prestasi atau untuk sukacita dengan memberi orang lain hal-hal yang mereka butuhkan, melainkan hanya untuk mendapatkan uang. Sikap ini sesungguhnya merampas sukacita seseorang karena ”lebih berbahagia memberi dari pada menerima”.



source:
Sedarlah! Maret 1992

No comments:

Post a Comment