When you run so fast to get somewhere, you miss the fun of getting there.
Life is not a race, so take it slower.
Hear the music before the song is over.
You are part of the puzzle of someone else's life.
You may never know where you fit but others will fill the holes in their lives with pieces of you.
So if you run out of reasons to live, remember that someone else's life may never be complete without you in it.

Monday, June 25, 2012

PEREKONOMIAN INDONESIA

Kondisi Perekonomian Indonesia

Dari berbagai kota yang pernah dikunjungi, pasti pernah terlintas di benak bahwa betapa banyaknya ketimpangan di negeri nan hijau ini. Di satu kawasan, berderet rumah besar, bagus, arsitektur indah, penghuninya sudah ditambah dengan beberapa pembantu, dan deretan mobil mewah pun ada di halaman.

Sebaliknya, masih banyak deretan rumah kardus dan rumah-rumah berpapan bekas dengan keadaan MCK seadanya atau kadang tak ada sama sekali hingga harus menumpang ke masjid. Itulah gambaran sekilas kondisi perekonomian Indonesia saat ini dilihat dari kondisi rumah tinggal rakyatnya.

Kondisi Perekonomian Indonesia Dilihat dari PDB

Pendapat Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini menempati urutan ke-18 dari 20 negara yang mempunyai PDB terbesar di dunia. Hanya ada 5 negara Asia yang masuk ke dalam daftar yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Kelima negara Asia tersebut adalah Jepang (uruan ke-2), Cina (urutan ke-3), India (urutan ke-11), dan Korea Selatan (urutan ke-15).

Indonesia yang kini mempunyai PDB mencapai US$700 miliar, boleh saja berbangga. Apalagi, dengan pendapatan perkapita yang mencapai US$3000 per tahun menempatkan Indonesia di urutan ke-15 negara-negara dengan pendapatan perkapita yang besar. Belum lagi, Indeks Harga Saham Gabungan yang mencatat rekor terbaik se-Asia Pasifik pada 2010. Bisakah indikator ini dijadikan satu-satunya patokan untuk melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sebenarnya?

Penghitungan PDB

Ada dua cara penghitungan PDB, pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Namun, umumnya, digunakan pendekatan pengeluaran yang dirumuskan PDB=konsumsi+investasi+pengeluaran pemerintah+ekspor-impor.

Konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor yang melibatkan sektor luar negeri.

Dari rumus tersebut dapat dilihat bahwa jika kemiskinan masih terjadi di beberapa tempat, itu artinya ada ketimpangan penyebaran dan pemerataan pertumbuhan ekonomi dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan berpotensi konflik yang disebabkan oleh rasa iri dan benci. Untuk meredam potensi konflik tersebut, ada beberapa jalan yang bisa diambil, baik oleh pihak swasta maupun oleh pihak pemerintah.

Pihak Swasta

Adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Dompet Dhu'afa, bekerja sama dengan Institute Kemandirian yang berusaha mencetak para kaum muda berpotensi menjadi hebat sebagai pejuang ekonomi adalah salah satu cara membuat pemerataan pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh semakin banyak rakyat Indonesia.

Pihak pemerintah

Sinergi antarkementerian harus dibuat semakin solid dan saling mendukung sehingga tidak tumpang tindih dan lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat. Kampanye pembentukan jiwa kewirausahaan, seperti seminar bertaraf internasional, adalah salah satu jalan membangkitkan potensi jiwa-jiwa pejuang ekonomi yang pantang menyerah dan penuh kreativitas tinggi.


Ekonomi Tanpa Mata

Masyarakat kita sudah menjelma menjadi masyarakat berisiko (risk society). Berbagai risiko menghadang di depan mata. Yang terdekat adalah memburuknya kualitas kesehatan publik. Persoalannya, di mana letak mata air risiko itu?

Tanpa mata

Persoalan lain terletak pada pengambil kebijakan. Tanpa konstrain tegas dari pengambil kebijakan, hal serupa bisa terulang di kemudian hari. Pertanyaannya, siapa pengambil kebijakan itu? Jika pengambil kebijakan adalah pengusaha itu sendiri, konflik kepentingan pun menyentak. Keluh kesah selalu datang belakangan. Saat kepentingan pribadi-jangka pendek dinyatakan sebagai pemenang.

Dari sudut pandang teori konstrain, tidak ada yang namanya kehendak baik (Elster, 1993). Kehendak baik tidak selalu berujung pada tindakan serupa. Gangguan kepentingan pribadi-jangka pendek selalu menghantui pengambilan keputusan. Komitmen penegakan etika dalam berbisnis tidak bisa dijadikan pegangan. Banyak faktor bisa menggagalkan komitmen itu. Kenaikan harga bahan bakar minyak, misalnya. Kualitas produk pun bisa dikorbankan demi pemangkasan biaya produksi. Etika memang kedengarannya mulia. Namun, kita menghadapi dunia nyata yang dihuni homo oeconomicus. Etika saja tidak cukup.

Pengejaran keuntungan tanpa konstrain adalah ekonomi tanpa mata. Dari rahimnya lahir masyarakat berisiko. Komitmen etis senantiasa dikalahkan keserakahan ekonomi. Analisis biaya-keuntungan hanya berurusan dengan yang pribadi. Biaya dan keuntungan sosial selalu dikeluarkan dari kalkulasi awal. Urusan korporat hanya meminimalkan biaya produksi dan memaksimalkan keuntungan pribadi. Tanggung jawab seluruh unit kerja berfokus pada pemilik saham, bukan publik.

Berbicara tentang etika, mengandaikan kebebasan. Persoalannya, justru postulat kebebasan ini yang bermasalah. Tak ada yang bisa menjamin pelaku ekonomi bertindak sesuai kehendak baik. Pilihan untuk menyimpang dari etika kepedulian selalu terbuka lebar. Setiap saat pelaku ekonomi bisa mengorbankan komitmen awal demi keuntungan jangka pendek. Hukum pun bisa diputarbalikan. Apalagi saat aparat hukum mengadopsi logika yang sama dengan pelaku ekonomi.

Langkah pencegahan

Etika selalu harus dikawal oleh apa yang disebut langkah-langkah pencegahan (precautionary measures). Langkah-langkah itu membuat pilihan untuk berlaku tak etis lebih mahal atau bahkan tidak mungkin. Dengan kata lain, pilihan untuk berlaku tak etis dibuat berseberangan dengan kepentingan pribadi. Melalui langkah pencegahan (precautionary measures), pelaku ekonomi dipaksa keluar dari kepompong kepentingan jangka pendek. Bukan karena pengejaran kepentingan jangka pendek itu kotor di mata etika, tetapi pengejaran kepentingan jangka pendek bertabrakan dengan analisis biaya-keuntungan. Pelaku ekonomi dipaksa berpikir, altruisme, bagaimanapun, lebih menguntungkan.

Bagaimana perwujudannya? Hukum harus menjadi langkah pencegahan (precautionary measures) yang ketat bagi perilaku ekonomi. Perilaku ekonomi yang membahayakan keselamatan publik harus diganjar seberat-beratnya. Ini bukan sekadar labelisasi ”aman” atau ”tidak aman” pada barang konsumsi. Karena, itu amat rentan terhadap kolusi. Banyak pengusaha rela membayar miliaran rupiah bagi segala bentuk labelisasi. Seharusnya pengusaha membayar miliaran rupiah atas perbuatannya yang membahayakan keselamatan publik. Hukum harus menjadi pencegah dan bukan pemicu perilaku ekonomi tak etis.

Sebagai precautionary measures, hukum bukan hanya menciptakan keteraturan etis. Hukum harus menciptakan struktur perilaku ekonomi baru. Struktur itu mengerucutkan rentang pilihan proporsionalisasi kepentingan pribadi demi meminimalisasi risiko sosial. Hukum membuang pengejaran kepentingan pribadi secara membabi buta dari rentang pilihan pelaku ekonomi.

Pemerintah pun harus menjadi anjing penjaga yang asketis bagi langkah pencegahan (precautionary measures). Sebab, hukum yang keras tak berbicara banyak tanpa dukungan aparat yang bersih. Pintu belakang bagi kolusi antara pejabat dan pengusaha harus ditutup. Apalagi, banyak pejabat kini merangkap pelaku ekonomi. Pejabat-pedagang tidak memandang hukum sebagai konstrain, tetapi alat produksi. Alih-alih mengatur perilaku ekonomi, hukum diperjualbelikan.

Artinya, perilaku politik mesti diatur dalam koridor perundang-undangan yang ketat. Undang-undang itu mesti berlaku sama baik bagi pejabat eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Perkecualian, sekecil apa pun, berarti pintu bagi penyelewengan. Itu pilihan yang paling masuk akal sekarang. Sebab, seperti disinyalir banyak pemikir, logika ekonomi sudah menular ke semua bidang kehidupan, termasuk politik.


source:
http://www.anneahira.com/kondisi-perekonomian-indonesia-saat-ini.htm
http://yudhitc.wordpress.com/2009/07/07/potret-utang-indonesia/

No comments:

Post a Comment