“Indonesia Ada di Peringkat 56 Negara Terkorup Dunia tahun 2012”.
Demikianlah headline
pada salah satu situs online berita nasional. Sungguh bukan suatu prestasi yang
patut dibanggakan. Dari zaman Indonesia
belum merdeka hingga saat ini, tidak ada wabah virus yang lebih menjamur dan
mematikan dibanding dengan virus korupsi. Maka cocok apabila korupsi
dianalogikan sebagai “patologi sosial”, penyakit menular yang telah menjangkiti
masyarakat.
Perilaku korupsi
seperti telah menjadi tradisi yang mendarah-daging dan berurat-berakar di
tiap-tiap aspek kehidupan masyarakatnya. Baik di sektor negeri maupun swasta.
Mulai dari pejabat kelurahan hingga eksekutif dan legislatif negara. Tidaklah
sulit untuk mencari contoh nyatanya. Di berbagai kegiatan sekitar kita
sehari-hari sering ditemui perilaku-perilaku yang terkategorikan sebagai tindak
korupsi, misalnya penjual di pasar tradisional yang mencurangi timbangan barang
dagangannya agar memperoleh keuntungan lebih.
Undang-undang
antikorupsi sudah dikembangkan dimana-mana. Pemerintah juga sudah
mengintegrasikan upaya anti korupsi yang memprioritaskan aturan yang lebih baik
dalam negoisasi dan pembiayaan politik, anggaran publik, membuat kontrak proyek
lebih transparan, serta membuat lembaga yang lebih akuntabel pada rakyat. Tapi
kenyataannya, hukum belum juga bisa memberantas korupsi. Jutaan uang suap tetap
berpindah tangan setiap harinya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak
perusahaan-perusahaan yang mengalokasikan sepersekian dari seluruh keuntungan
mereka hanya untuk menyuap para birokrat pemerintah yang korup. Lagi-lagi yang tertindas
adalah rakyat miskin.
Apa Penyebab Korupsi?
Bagi beberapa oknum, kemungkinan inilah jalan pintas yang
paling gampang—atau jalan
satu-satunya—untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan secara instan.
Akhirnya korupsi semakin berterima, hingga akhirnya menjadi gaya hidup
masyarakat. Mirisnya, Indonesia adalah negara kaya, tapi pemerintahan dengan
utang yang melilit negara membuat rakyat terjerembab dalam jurang kemiskinan
permanen. Faktor inilah yang menumbuh-kembangkan pandangan “jalan pintas”. Dan,
pada umumnya orang segan memberantas korupsi karena orang yang membayar maupun
yang menerima suap tidak dihukum.
.
Ada 2 hal utama yang membuat korupsi terus merajalela dan
berkembang: (1) sikap mementingkan diri, (2) ketamakan. Orang-orang yang korup
cenderung tutup mata terhadap akibat perbuatannya, dengan sengaja bersikap
tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, dan membenarkan korupsi
semata-mata karena mereka mendapatkan keuntungan dari perbuatannya. Semakin
banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini
(pola pikir materialistik).
Belum lagi pola hukum yang ditinggalkan oleh penjajah
Belanda yang memihak oknum-oknum pelaku korupsi (mengingat dulu merekalah
pelaku tindakan tersebut). Pola hukum yang amburadul baik dari sisi sistem
penegakan maupun para penegaknya sangat menguntungkan bagi para koruptor di
Indonesia. Budaya korupsi pun kian subur.
Kondisi diperparah dengan lembeknya hukuman bagi para
koruptor. Korupsi miliyaran sampai triliunan dan hanya dihukum beberapa tahun
saja? Lembeknya hukum menyebabkan pandangan masyarakat mengenai pentingnya
kejujuran memudar. Akhirnya masyarakat memandang bahwa melakukan korupsi itu
menguntungkan karena walaupun tertangkap hukumannya ringan dan selanjutnya
dapat kembali melanjutkan hidup nyamannya.
Bagaimana Korupsi Mewabah?
Sebagai patologi sosial, korupsi akan mewabah dengan 2 cara:
- Secara kultural.
Individu mempunyai peranan dalam proses
mempengaruhi lingkungan sosial yang selanjutnya lingkungan sosial akan
mempengaruhi individu lain.
Jika
individu yang berinteraksi dengan individu lain dalam komunitas, dimana
individu tersebut mengalami kecanduan materi, maka interaksi tersebut
mengakibatkan self organizing. Yaitu suatu kondisi dimana individu menyesuaikan
dengan perilaku oleh orang lain dalam komunitas tersebut. Bisa dikatakan bahwa
self organizingini merupakan awal pijakan adanya konfirmitas individu terhadap
kelompok atau anggota kelompoknya. Hal ini pulalah yang menyebabkan wabah
kecanduan materi berkembang dari individu (mikrosistem) ke komunitas yang lebih
luas (makrosistem). Inilah yang disebut sebagai kecanduan materi sebagai
’virus’ yang menyebarkan penyakit korupsi.
2. Secara struktural (struktur
organisasi suatu bangsa dan negara yang dikelola oleh pemerintah).
Pengelolaannya
ini diwujudkan dalam aturan-aturan atau birokrasi untuk tatanan masyarakat.
Perilaku korupsi yang dimunculkan oleh kecanduan materi jika ditinjau dari
sumber penyebab struktural adalah adanya contoh birokrasi yang berbelit atau
sengaja dibuat berbelit untuk membuka peluang adanya korupsi-manipulasi.
Rupanya struktural (baca: pemerintah) perlu menyadari adanya peluang birokrasi
sebagai wadah menyalurkan ketagihan terhadap material. Adanya penyalahgunaan
kekuasaan untuk pelaksanaan tender pengadaan, mekanisme birokrasi yang obesitas
dalam mengurus kepentingan publik, ataupun pungutan-pungutan liar menunjukkan
peluang untuk oknum-oknum aparat pemerintahan merasakan ketagihan materi.
Praktek mafia birokrasi ini yang menyebabkan ’virus’ korupsi semakin merajalela.
“Ada Uang, Urusan Lancar”
Dewasa ini, segala sesuatu
selalu dihargai dengan materi yang menyebabkan meningkatnya jiwa materialistis
masyarakat. Semboyan pelayanan yang umum ini menyebabkan
individu semakin terbius dengan kenikmatan-kenikmatan materi. Memang pada
hakikatnya, individu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan materialnya
dalam mempertahankan hidup. Segala kebutuhan primer, sekunder hingga tersier
membutuhkan materi untuk memenuhinya. Kondisi ini yang membuat manusia secara
tidak sadar menghargai segala sesuatu dengan materi. Materi inilah yang membuat
individu terlena dengan pemenuhan segala kebutuhan yang tidak pernah
terpuaskan. Pada akhirnya, bagaikan obat bius yang menyebabkan ketagihan maka
individu sesungguhnya sudah masuk dalam jeratan kecanduan materi. Siapa yang
patut disalahkan? Dalam hal ini, kita sebagai anggota masyarakat yang
membiasakan individu lain merasakan kenikmatan material akan menjerumuskan
individu bahkan akhirnya komunitas masyarakat dalam kecanduan materi (material
addicted). Meskipun tiada kita pungkiri bahwa setiap manusia menginginkan
adanya kemudahan dan kelancaran dalam urusannya tanpa birokrasi yang berbelit
atau sengaja dibuat berbelit.
Referensi:
Sedarlah!
No comments:
Post a Comment