Tak terbayangkan apa jadinya dunia ini tanpa musik dan
bahasa. Kedua hal ini merupakan aspek-aspek yang kita butuhkan untuk
berkomunikasi. Jadi, seperti halnya bahasa, kalau musik sudah “berbicara”,
emosi kita pun akan “mendengar”. Bagaimana bisa?
”Bahasa dan musik
merupakan karakteristik manusia yang tampaknya universal,” — buku The
Musical Mind.
Perhatikan 3 hal:
- Unsur-unsur dalam musik itu sendiri dan cara otak kita memprosesnya
- Pembawaan emosi kita dan latar belakang budaya kita, yang mempengaruhi reaksi kita terhadap musik
- Bahasa, yang juga dapat mempengaruhi reaksi kita
UNSUR-UNSUR MUSIK (Karakteristik Musik)
- Nada (Timbre)
Misalnya: French horn, sejenis alat musik tiup, dikategorikan sebagai “berwibawa”,
atau berbobot, dan suaranya agak berbeda dengan trompet yang bernada
”angkuh”. Meskipun keduanya sama-sama alat musik tiup, masing-masing mempunyai
kekuatan yang berbeda dalam menghasilkan paduan nada, atau harmoni. Itulah yang
membuat tiap-tiap alat musik mempunyai ”suara” yang khas. Para komposer
memanfaatkan sifat-sifat ini untuk menciptakan efek bunyi tertentu guna
menggugah emosi pendengarnya.
- Irama
Salah satu unsur dasar yang pertama kali akrab bagi kita adalah irama—mungkin
sewaktu kita masih di dalam rahim, mendengarkan detak jantung ibu kita. Ada
pendapat bahwa sambutan kita terhadap irama musik mungkin dipengaruhi secara
tidak sadar oleh detak jantung atau bahkan pernapasan kita sendiri.
“Bukannya kebetulan
apabila banyak orang lebih suka mendengarkan musik dengan tempo antara 70
hingga 100 beat per menit—sama dengan rata-rata kecepatan irama jantung
orang dewasa yang sehat.” — Jurnal Perceptual and Motor Skills.
Keragaman musikal yang dapat dihasilkan oleh unsur-unsur
musik ini akan nyata apabila kita mencermati sejumlah alat musik berikut bunyi
dan melodi yang dihasilkannya. Contoh:
- Suara bassoon (sejenis alat musik tiup) yang menyayat hati dalam bagian kedua pada konserto bassoon karya Mozart dapat membangkitkan emosi dan perasaan yang sendu.
- Bunyi melankolis seruling shakuhachi dari Jepang dapat membuat hati terbuai.
- Suara berat saksofon tenor membuat irama blues tetap melekat di benak banyak orang.
- Dengan suara rendahnya, tuba dalam band Jerman biasanya membangkitkan perasaan sukacita.
- Irama ceria gesekan biola yang memainkan waltz-nya Strauss mengajak para pendengarnya melantai bersama.
“Pengaruh-pengaruh
ini dihasilkan karena ‘musik berbicara kepada seluruh umat manusia’”. — Clive
E. Robbins, dari Pusat Terapi Musik Nordoff-Robbins Music Therapy Center,
di New York.
HARMONI, SUARA SUMBANG, DAN MELODI
Harmoni menghasilkan suara yang menyenangkan.
Suara sumbang menghasilkan suara yang tidak
enak didengar.
Tahukah Anda bahwa unsur-unsur ini saling melengkapi pada jenis-jenis irama musik tertentu?
Musik yang terdengar harmonis mungkin mengandung lebih
banyak suara sumbang daripada yang dapat Anda bayangkan. Interaksi
terus-menerus antara harmoni dan suara sumbang mengakibatkan meningkatnya
ketegangan secara tidak menentu, sekalipun secara tidak kentara, yang kemudian
tersalurkan melalui emosi kita. Emosi yang dibuai dengan lembut terasa
menenteramkan, sedangkan musik sumbang itu sendiri terdengar ngilu di telinga
dan menimbulkan rasa jengkel—kurang-lebih seperti suara gesekan kuku pada papan
tulis. Di pihak lain, jika musik didasarkan hanya pada harmoni, itu akan
terdengar membosankan.
Melodi adalah serangkaian nada yang merdu. Menurut beberapa
referensi, kata itu berasal dari bahasa Yunani melos, yang berarti
”lagu”. Melodi, menurut kamus, adalah musik yang sedap didengar, semua suara
yang menyenangkan.
Akan tetapi, melodi yang sedap didengar bukan hanya terdiri
dari serangkaian bunyi nada. Misalnya, interval-interval panjang yang muncul
silih berganti antara not-not dapat membuat suatu melodi terdengar dramatis
tetapi tidak manis. Di pihak lain, serangkaian not yang disertai beberapa
interval panjang menjadikan suatu melodi sedap didengar. Aransemen not dan
interval dapat menjadikan suatu melodi bernada sedih atau gembira. Sehubungan
dengan harmoni, suatu melodi menciptakan ketegangan dan kelepasan sendiri,
sehingga mempengaruhi emosi kita karena naik-turunnya nada—yakni, seberapa
tinggi atau rendah suatu notasi.
>>Jika digabungkan, semua unsur ini menciptakan pengaruh kuat yang dapat membuat
emosi kita terbangkitkan atau terbuai. Ini dikarenakan berbagai cara otak kita
menerima dan memproses musik.
MUSIK DAN OTAK
Ada yang berpendapat bahwa memproses bahasa dan logika
merupakan sebagian besar tugas otak sebelah kiri, sedangkan musik diproses di
otak sebelah kanan, yang menangani perasaan dan emosi.
Jelaslah bahwa musik membangkitkan reaksi spontan dari para
pendengarnya.
”Musik mempunyai
kuasa untuk menciptakan perasaan dan emosi dengan cara yang cepat dan efektif.
Apabila suatu buku membutuhkan banyak kalimat untuk menggambarkan sesuatu
. . . , musik sering kali dapat menyampaikannya hanya dengan
satu birama atau satu akor.” — Jurnal Perceptual and Motor
Skill.
”Hubungan antara pendengaran dan emosi lebih dekat
daripada hubungan antara penglihatan dan emosi. . . . Melihat
seekor binatang yang terluka atau seseorang yang menderita namun diam saja
mungkin tidak banyak mempengaruhi perasaan orang yang melihatnya. Tetapi,
begitu mereka mulai menjerit, emosi orang yang melihatnya biasanya akan sangat
tersentuh.” — buku Music and the Mind.
MUSIK, LIRIK, DAN ANDA
Ada pakar yang berpendapat bahwa musik tertentu menghasilkan
pengaruh yang sama terhadap semua pendengarnya. Akan tetapi, ada pula yang
mengatakan bahwa reaksi seseorang terhadap melodi atau lagu mencerminkan
keadaan pikirannya pada saat itu atau pengalaman masa lalunya. Misalnya,
sewaktu seseorang yang telah ditinggal mati orang yang dikasihi mendengar lagu
tertentu, mungkin di tempat ibadat. Lagu itu dapat membangkitkan kenangan dan
menimbulkan kesedihan atau bahkan dapat membuat orang yang berdukacita itu
menitikkan air mata. Orang-orang lain yang tidak mengalami situasi itu mungkin
akan menyanyikan lagu itu dengan riang hati.
Selain itu, perhatikan gambaran tentang French horn
dan trompet yang telah dijelaskan tadi. Anda mungkin tidak sependapat bahwa
suara French horn itu berwibawa. Boleh jadi, Anda menganggapnya
kasar atau jenaka, sedangkan suara trompet mungkin lebih dapat membuat Anda
terbuai. Di dalam diri kita, terdapat semacam sumur emosi yang unik yang dapat
ditimba oleh musik—oleh karena itu, kita menanggapi musik dengan cara
kita sendiri.
Musik membantu kita menghubungkan kata atau gagasan dengan
emosi. Itulah sebabnya jarang sekali iklan di televisi atau radio yang tidak
diiringi musik latar. Sering kali, kata-kata tidak terlalu banyak pengaruhnya.
Akan tetapi, apabila musik latarnya sangat jitu, iklan sanggup menggelitik
emosi pendengarnya. Memang benar, tujuan sebagian besar pengiklan adalah agar
seseorang membeli karena emosi sebaliknya daripada logika!
Sementara iklan dapat mempengaruhi masyarakat untuk merogoh
kantongnya secara tidak perlu, ada lagi pengaruh yang jauh lebih serius dari
lirik dan musik.
“Melalui lirik lagu yang diulang-ulangi, si penulis lagu
mengajar para remaja untuk mengabaikan pendapat orang lain dan untuk ”bersikap
tegar”. Menurut salah satu sumber, pesan yang disampaikan melalui ”lirik musik rap
yang kontroversial . . . , lebih gamblang daripada melalui musik
heavy metal”, dapat mempengaruhi karakter emosi pendengarnya dan
dapat mengakibatkan perilaku antisosial.” — Journal
of Youth and Adolescence.
Dapatkah reaksi-reaksi negatif ini dicegah jika seseorang
hanya mendengarkan musiknya tanpa menghiraukan liriknya? Memang, harus diakui
bahwa hingga taraf tertentu, kata-kata dalam musik heavy metal
dan rap sulit dicerna. Malah, kata-katanya hampir tidak terdengar
ditelan volume suara musik pengiringnya yang ekstra keras. Namun, dengan atau
tanpa kata-kata, pesan lagu itu tetap tersampaikan melalui iramanya yang
mengentak-entak dan melodinya yang diulang-ulangi!
Mengapa demikian? Nah, pada beberapa lagu, judulnya saja
sudah memberikan kesan tertentu. Kemudian, jenis musik itu sendiri sering kali
identik dengan pesan yang hendak disampaikan. Pesan apa?
”Itu adalah lambang kekuasaan, potensi, dan penaklukan
seksual.” Majalah lain mengatakan, ”Tema dasarnya . . . adalah
pemberontakan yang ekstrem, kekerasan, penyalahgunaan obat bius, promiskuitas
seksual, kebejatan, dan Setanisme.” — Salah satu majalah remaja.
Beberapa remaja mungkin menyatakan bahwa meskipun
fakta-fakta ini benar, mereka tidak merasa mendapat pengaruh negatif. Mereka
berpendapat bahwa musik semacam itu bermanfaat karena membantu mereka
’menemukan jati diri’. Demikiankah kenyataannya?
”Kemarahan, tema-tema antagonis, dan
kekuatan lelaki yang mengilhami musik heavy metal sangat disukai
khususnya oleh anak-anak lelaki berprestasi rendah setelah seharian mereka
menanggung ketidakmampuan belajarnya di sekolah. Yang ironis atau membingungkan adalah bahwa para remaja mencari
jati diri yang lebih aman dan autentik melalui media publik yang digunakan
bersama-sama. Sebaliknya daripada mencari pengalaman yang benar-benar unik
dalam kesendirian, para remaja berupaya meniru tokoh-tokoh yang dikemas oleh
industri komersial.” — Journal of Youth and Adolescence.
Dengan kata lain, penalaran dan perasaan anak-anak muda
ini didikte oleh orang lain.
Perhatikanlah apa yang terjadi di konser musik rock.
Apa pengaruhnya atas kerumunan penontonnya?
”Tidak diragukan lagi
bahwa, dengan meningkatkan emosi para penonton dan dengan memastikan bahwa emosi
itu memuncak bersama dan bukannya sendiri-sendiri, musik dapat sangat
menumpulkan ketajaman akal sehat, membuat orang hanyut dalam suasana saat itu,
yang merupakan karakter yang sangat berbahaya dari perilaku massa.” — Buku Music
and the Mind.
Suasana liar dan tak terkendali pada beberapa konser rock
menunjukkan benarnya pernyataan itu.
Sumber:
Sedarlah! 8 Oktober 1999
No comments:
Post a Comment