”Kapan pun kita tidak bakal tahu apa yang dianggap menegangkan atau menarik di mata publik”—David Cook, dosen studi perfilman.
Kalau musim liburan tiba, apa yang ingin Anda lakukan? Jika cuacanya bagus, boleh jadi Anda ingin bersantai-santai di luar—mungkin piknik di pantai atau di taman.
Akan tetapi, kalangan industri perfilman mengharapkan jutaan orang menghabiskan sebagian besar musim liburan mereka di dalam ruangan, yakni di bioskop. Di Amerika Serikat saja setidaknya ada 35.000 studio bioskop, dan pada tahun-tahun belakangan ini sekitar 40 persen laba dari penjualan tiket telah dihasilkan selama musim panas saja [Di Amerika Serikat, film musim panas berlangsung dari bulan Mei sampai September].
”Ini sama dengan musim Natal-nya pedagang eceran,” — Heidi Parker dari majalah Movieline.
Dahulu keadaannya tidak demikian. Semula, musim panas adalah musim paceklik bagi bioskop-bioskop di AS, sehingga banyak dari antaranya terpaksa mengurangi jadwal tayang atau tutup selama musim itu. Tetapi, pada pertengahan tahun 1970-an, bioskop-bioskop berpendingin udara memikat jutaan orang untuk berlindung dari cuaca panas. Anak-anak yang libur sekolah pada waktu itu adalah pasar yang belum terjamah yang tidak luput dari perhatian para pembuat film. Tidak lama kemudian, muncullah film-film blockbuster [Biasanya, istilah ”blockbuster” diberikan kepada film-film yang meraup laba 100 juta dolar AS atau lebih. Akan tetapi, istilah ini kadang-kadang digunakan lebih luas untuk film apa pun yang hit, tidak soal seberapa besar uang yang dihasilkan dari penjualan tiket] musim panas. Hal itu mengubah cara pembuatan dan pemasaran film, sebagaimana yang akan kita bahas.
Dari Naskah ke Layar
SELAMA beberapa dekade yang lalu, Hollywood telah menghasilkan banyak sekali film blockbuster. Fenomena ini berdampak global, karena banyak film Amerika dirilis di negeri lain hanya beberapa minggu—atau dalam beberapa kasus beberapa hari—setelah penayangan perdananya di AS. Beberapa film bahkan diputar serentak di seluruh dunia pada tanggal yang sama. ”Pasar internasional sedang bertumbuh dan sangat cerah,” kata Dan Fellman, presiden distribusi domestik Warner Brothers Pictures, ”jadi, sewaktu kami membuat film, kami menganggapnya sebagai peluang global.” Terlebih lagi sekarang, apa yang terjadi di Hollywood mempengaruhi industri hiburan sedunia [Menurut Anita Elberse, dosen di Fakultas Bisnis Harvard, ”meskipun pendapatan dari penjualan tiket di luar negeri kini sering lebih tinggi daripada pendapatan domestik, seberapa laris sebuah film di AS masih menentukan seberapa laris film itu di luar negeri”].
Tetapi, meraup laba dari sebuah film tidak semudah yang terlihat. Banyak film menyedot dana lebih dari 100 juta dolar AS hanya untuk menutupi biaya produksi dan pemasaran. Dan, keberhasilan film sepenuhnya bergantung pada publik yang sulit ditebak apa maunya. ”Kapan pun kita tidak bakal tahu apa yang dianggap menegangkan atau menarik di mata publik,” kata David Cook, dosen studi perfilman di Emory University. Jadi, bagaimana para pembuat film meningkatkan peluang sukses mereka? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita perlu memahami beberapa dasar pembuatan film [Meskipun perinciannya mungkin berbeda untuk setiap film, apa yang diulas di sini adalah salah satu cara pembuatannya].
Praproduksi—Meletakkan Dasar
Praproduksi sering kali merupakan tahap terpanjang dalam proses pembuatan film dan salah satu tahap terpenting. Seperti halnya proyek besar mana pun, persiapan adalah kuncinya. Harapannya ialah agar setiap dolar yang dikucurkan dalam praproduksi akan menghemat berlipat-lipat biaya pengambilan gambar.
Pembuatan sebuah film dimulai dengan ide cerita, yang bisa jadi fiktif atau didasarkan pada kisah nyata. Seorang penulis menuangkan cerita ke dalam bentuk naskah. Naskah ini, yang juga disebut skenario, mungkin direvisi beberapa kali sebelum versi terakhirnya—disebut naskah syuting—dihasilkan. Naskah syuting berisi dialog film serta uraian singkat tentang aksi yang akan berlangsung. Naskah ini juga menjadi pedoman untuk perincian teknis, seperti pengarahan kamera dan peralihan antaradegan.
Akan tetapi, meskipun masih pada tahap awal, skenario ditawarkan kepada seorang produser [Dalam beberapa kasus, seorang produser ditawari sebuah rangka cerita, bukan skenario. Jika ia berminat dengan cerita itu, ia dapat membeli hak patennya dan mengembangkannya menjadi skenario]. Skenario macam apa yang mungkin diminati produser? Nah, film musim panas biasanya ditujukan pada para remaja dan kaum muda, yang oleh seorang kritikus film dijuluki ”kelompok popcorn” karena kebiasaan mereka makan jagung berondong di bioskop. Jadi, seorang produser mungkin tertarik pada cerita yang kena di hati kaum muda.
Naskah yang lebih disukai ialah naskah yang menarik bagi segala lapisan usia. Sebagai contoh, film tentang jagoan komik pasti akan diminati anak-anak yang kenal betul dengan tokoh itu. Dan, para orang tua pasti akan menemani mereka. Tetapi, bagaimana para pembuat film memikat para remaja dan kaum muda?
"”Cerita yang menegangkan” adalah kuncinya. Penambahan bahasa kasar, adegan kekerasan yang hebat, dan pengumbaran adegan seks dalam sebuah film adalah cara ”memaksimalkan peluang untuk meraup laba dengan tidak menyisihkan kelompok usia mana pun”" — Liza Mundy dalam The Washington Post Magazine.
Jika seorang produser merasa bahwa suatu skenario memiliki potensi, ia dapat membelinya dan mencoba membuat kontrak dengan sutradara ternama dan aktor atau aktris terkenal. Melibatkan sutradara ternama dan bintang papan atas akan menarik minat orang untuk menonton sewaktu film itu dirilis. Namun, bahkan pada tahap awal ini, nama-nama besar dapat menarik investor yang dibutuhkan untuk mendanai film.
Aspek berikut dari praproduksi ialah pembuatan storyboard. Storyboard adalah serangkaian sketsa yang menggambarkan berbagai urutan film, khususnya adegan aksi. Karena berfungsi sebagai cetak biru bagi sinematografer, storyboard menghemat banyak waktu selama pengambilan gambar.
”Tidak ada yang lebih buruk selain berdiri di sekitar lokasi dan membuang-buang waktu syuting hanya untuk menentukan letak kamera”.— Frank Darabont, sutradara sekaligus penulis skenario.
Banyak soal penting lain harus diputuskan selama praproduksi. Contohnya, lokasi mana saja yang akan digunakan untuk pengambilan gambar? Apakah perjalanan akan dibutuhkan? Bagaimana latar interior akan dibangun dan didesain? Apakah kostum akan dibutuhkan? Siapa yang akan menangani tata cahaya, tata rias, dan tata rambut? Bagaimana dengan tata suara, efek khusus, dan peran pengganti? Ini hanyalah beberapa contoh dari banyak aspek pembuatan film yang perlu dipikirkan sebelum syuting dimulai. Perhatikan daftar para kru film dari sebuah film beranggaran besar, dan Anda mungkin melihat bahwa ada ratusan orang yang terlibat di balik layar!
”Dibutuhkan orang sekota untuk membuat film yang sukses,” — seorang teknisi yang telah ikut menggarap sejumlah film.
Produksi—Pengambilan Gambar
Syuting sebuah film dapat menguras waktu, tenaga, dan uang. Sesungguhnya, satu menit saja yang terbuang dapat menghabiskan ribuan dolar. Kadang-kadang, para aktor, anggota kru, dan perlengkapan harus dibawa ke kawasan terpencil di negeri lain. Akan tetapi, tidak soal di mana syuting dilakukan, setiap hari pengambilan gambar memakan porsi yang cukup besar dari anggaran.
Kru tata cahaya, penata rambut, dan penata rias termasuk yang pertama-tama tiba di lokasi film. Setiap hari pengambilan gambar, para bintang mungkin berdandan beberapa jam agar siap beraksi di depan kamera. Lalu, pengambilan gambar sepanjang hari pun dimulai.
Sutradara dengan cermat mengawasi pengambilan gambar untuk setiap adegan. Syuting sebuah adegan yang relatif sederhana dapat berlangsung bahkan sepanjang hari. Kebanyakan adegan dalam film diambil gambarnya dengan satu kamera sehingga satu adegan akan terus diulangi untuk setiap sudut pengambilan gambar. Selain itu, setiap pengambilan gambar mungkin perlu dilakukan berulang-ulang untuk memperoleh hasil terbaik atau untuk mengoreksi masalah teknis. Setiap pengambilan gambar ini disebut take. Untuk adegan yang lebih besar, boleh jadi dibutuhkan 50 take atau lebih! Kemudian—biasanya di akhir setiap hari syuting—sang sutradara melihat hasil dari semua take itu dan memutuskan mana saja yang disimpan. Secara keseluruhan, proses pengambilan gambar dapat berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.
Pascaproduksi—Menyatukan Semua Potongan
Selama pascaproduksi, setiap potongan film diedit untuk menghasilkan film yang utuh. Pertama-tama, rekaman suara disinkronkan dengan film. Lalu, editor menyatukan potongan-potongan film yang masih kasar ke dalam versi pendahuluan, disebut rough cut.
Efek khusus berupa efek suara dan efek visual juga ditambahkan pada tahap ini. Sinematografi efek khusus—salah satu unsur paling rumit dalam pembuatan film—kadang-kadang dicapai dengan bantuan komputer. Hasilnya bisa spektakuler dan sangat realistis.
Aransemen musik juga ditambahkan selama pascaproduksi, dan unsur ini semakin penting dalam film-film sekarang.
”Industri perfilman kini membutuhkan lebih banyak musik orisinal dibanding sebelumnya—bukan cuma musik dua puluh menit atau musik interval untuk babak-babak dramatis, tetapi sering kali musik yang panjangnya lebih dari satu jam,” — Edwin Black dalam Film Score Monthly.
Kadang-kadang, film yang baru diedit ditayangkan kepada penonton yang telah diseleksi, mungkin terdiri dari teman-teman atau kolega sang sutradara yang tidak terlibat dalam pembuatan film itu. Berdasarkan tanggapan mereka, sang sutradara mungkin mengulangi syuting adegan tertentu atau menghapusnya. Dalam beberapa kasus, akhir sebuah film dirombak karena tanggapan negatif terhadap versi semula film itu dalam uji tayangnya.
Akhirnya, film yang telah rampung itu dirilis ke bioskop. Pada saat inilah baru jelas apakah film itu akan sukses besar atau gagal total—atau biasa-biasa saja. Tetapi, yang dipertaruhkan bukan cuma laba. Serangkaian kegagalan dapat merusak prospek kerja aktor dan menghancurkan reputasi sutradara.
”Saya telah melihat beberapa teman seangkatan saya yang gugur setelah beberapa kali gagal. Kenyataan yang kejam dalam bisnis film ialah jika Anda tidak menghasilkan uang untuk majikan Anda, tamatlah Anda.,” — sutradara John Boorman sewaktu merenungkan tahun-tahun awal ia berkecimpung dalam pembuatan film.
Tentu saja, sewaktu berdiri di depan papan reklame sebuah bioskop, publik pada umumnya tidak memikirkan soal lapangan pekerjaan para pembuat film. Kemungkinan besar, yang mereka paling ingin ketahui ialah, ’Apakah film ini enak ditonton? Apakah film ini sebanding dengan harga karcisnya? Apakah film ini buruk atau menyebalkan? Pantaskah film ini untuk anak saya?’
Sumber:
Sedarlah! 8/5 2005
artikel bagus ,, sangat membantu terima kasih...
ReplyDelete