Bayangkan:
Anda datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Anda lama
berputar-putar mencari tempat parkir, dan dengan sendirinya tahu bahwa meskipun
mengendarai mobil ada untungnya, tetapi terlalu banyak mobil di tempat yang
ramai tidak lagi menguntungkan.
Atau
Anda punya janji dengan klien jadi Anda memutuskan untuk
berangkat dari rumah lebih awal. Kemudian beberapa kilometer dari rumah Anda
tiba-tiba sudah terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Anda mulai
cemas dan frustasi terperangkap di dalam suatu kendaraan yang dirancang untuk
bergerak tetapi terpaksa harus diam tak bergeming. Akhirnya Anda sampai juga ke
lokasi perjanjian... terlambat setengah jam dari janji sebenarnya.
MACET adalah salah satu aspek kehidupan kota yang paling
membuat stres. Jalan yang tersumbat dan udara yang kian hari kian teracuni ini
dialami jutaan penghuni kota. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan
lalu lintas akan membaik.
Situasinya sama di seluruh dunia. Tidak terkecuali dengan Jakarta.
Kalangan berwenang benar-benar tidak mampu merancang solusi yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dari penduduk kota yang hilir mudik.
Beberapa ribu pengemudi mobil maupun motor kini bisa membutuhkan waktu lebih
lama daripada rata-rata waktu tempuh pejalan kaki untuk jarak yang sama. Ironis.
Alasan tersumbatnya jalan-jalan di kota sangat mudah ditebak.
Kota terus berkembang tanpa dapat dihentikan, dan kini kira-kira setengah
penduduk tinggal di daerah perkotaan. Kota-kota bertambah luas, jumlah
kendaraan ikut bertambah banyak.
”Kota-kota besar kini mengalami kemacetan hampir sepanjang hari, dan semakin parah.” — Dr. Jean-Paul Rodrigue dalam laporannya ”Urban Transport Problems”.
”Terlalu banyak orang, terlalu banyak mobil, semuanya sama-sama ingin mengemudi di lahan yang terbatas.”